..::: Selamat Datang :::..

Di Blog Eki yang Sederhana

Sabtu, 28 November 2009

Memajukan Industri Pariwisata Aceh

Oleh Rahmadhani, M.Bus

“... Bandara Sultan Iskandar Muda yang sudah sangat baik itu harus bisa dijadikan pintu gerbang masuknya investasi dan pengembangan pariwisata di Aceh”. Susilo Bambang Yudhoyono (Serambi, 6 Agustus 2009). Pernyataan Presiden SBY memberi harapan baru bagi Aqceh untuk mendukung percepatan kemajuan ekonomi Aceh pada berbagai sektor, khususnya sektor pengembangan industri pariwisata. Bandara Sultan Iskandar Muda” menjadi icon. Ini yang seharusnya dilakukan serius agar Aceh menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) unggulan.

Menjadikan Aceh sebagai DTW unggulan di kawasan paling barat nusantara ini bukan suatu yang mustahil. Di sini perlunya perhatian dan mendapat prioritas dari pemerintah juga masyarakat Aceh. Sebab Aceh memang memiliki berbagai potensi pariwisata sangat menarik yang didukung keragaman kekayaan sumberdaya alam, seni budaya daerah, sejarah masa lalu dan objek peninggalan Smong.

Geografi Aceh yang sangat strategis di kawasan Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran internasional, semestinya peluang pengembangan wisata. Aceh memiliki sekitar 756 objek wisata (2009). Sebagian sudah dikembangkan, namun masih memerlukan penataan dan pengembangan lebih lanjut. Masing-masing 396 objek wisata alam, 255 objek wisata budaya dan 105 objek wisata minat khusus yang tersebar di seluruh Aceh.

Semua objek wisata itu punya nilai jual dan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Selama ini akibat telah terjadinya berbagai permasalahan dan pengelolaan yang keliru (mismanagement) pada masa lalu, maka secara tidak langsung telah member dampak sehingga belum member investasi yang unggul. Konflik, krisis ekonomi, dan lemahnya kebijakan Pemerintah terhadap pemberdayaan dan pengembangan pariwisata Aceh, di samping tingginya ketergantungan PAD pada sektor minyak dan gas, kesadaran masyarakat untuk ikut memelihara aset-aset pariwisata daerah (sense of belonging) yang rendak, dan lemahnya keikutsertaan pihak swasta terhadap berbagai usaha pengembangan industri pariwisata, yang puncaknya bencana smong Desember 2004 lalu, telah menyebabkan sector pariwisata tidak berkembang.

Pembangunan kembal Aceh
“Aceh’s Redevelopment” pasca konflik dan bencana lewat rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi momentum penting .UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh , sebagai payung hokum diberikankan wewenang Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota untuk mengatur dan mengurus sendiri diharapkan bisa mendongkrak berbagai sektor pembangunan, di antaranya sektor kepariwisataan. Artinya bagaimana Pemeritah berperan sebagai regulator, akselerator dan fasilitator untuk memajukan pariwisata di daerah, meningkatkan pelaksanaan sadar wisata bagi masyarakat melalui program Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan). Setidaknya mengubah paradigma dari tragedi menjadi peluang bagi kemajuan masa depan Aceh .

Secara factual industri pariwisata Aceh cukup signifikan, antara lain semakin dikenalnya Aceh secara global. Meningkatnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Aceh, jumlah restauran dan outlet-oulet yang menjual barang sovenir, travel biro dan jumlah hotel dan tingkat hunian hotel yang terus meningkat, terutama pascabencana. Sehingga Aceh begitu terbuka bagi masyarakat dunia untuk berkunjung ke Aceh serta peran langsung para relawan atau pekerja sosial nasional maupun internasional yang membantu “Pembangunan Aceh Kembali”.

Data imigrasi, jumlah warga negara asing (WNA) yang berkunjung ke Aceh melalui Bandara SIM terus meningkat. Pada tahun 2008 jumlahnya mencapai 8.398 orang dan yang berangkat mencapai 8.585 orang. Yang lebih menarik pada akhir Maret 2009, jumlah WNA yang berkunjung dan berangkat mencapai masing-masing 2.697 orang dan 2.953 orang. WNA yang berkunjung ke Aceh dengan berbagai tujuan secara tidak langsung telah memberi kontribusi tersendiri bagi pemberdayaan ekonomi Aceh.

Peningkatan sarana dan prasarana pendukung pariwisata yang telah dilakukan oleh Pemerintah, munculnya berbagai LSM yang bergerak pada sektor pariwisata di Aceh serta berbagai kegiatan promosi wisata Aceh ke luar negeri oleh para pekerja sosial (NGO) yang dilakukan secara sukarela juga menandakan perhatian yang semakin serius terhadap upaya-upaya pengembangan pariwisata Aceh. Tinggal lagi bagaimana membangun citra positif kondisi terakhir Aceh serta potensi pariwisatanya.

Visa on Arrival (VOA)
Satu pesan penting Presiden SBY ketika meresmikan Bandara Internasional SIM di Banda Aceh (6 Agustus 2009) adalah pemberian kewenangan untuk pelaksanaan “Visa On Arrival (VOA)” atau “Visa Kunjungan Saat Kedatangan (VKSK)” bagi warga negara asing (WNA) yang masuk melalui pintu Aceh seperti layaknya Bandara Internasional lainnya di Indonesia. Ini langkah maju dan perlu mendapat dukungan semua pihak, sekaligus menjadi salah satu komponen penting (bukan satu-satunya) dalam rangka memajukan dan mempromosikan potensi pariwisata Aceh kepada wisatawan dalam dan luar negeri.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak wisatawan asing yang berminat untuk berkunjung ke Aceh, khususnya untuk menikmati pesona alam dan keindahan budaya Aceh serta berbagai peninggalan Tsunami. Namun, keinginan tersebut terkendala akibat belum berlakunya fasilitas “VOA” di Aceh, sehingga wisatawan terpaksa mengurus visa di negara asalnya atau melalui kantor perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, seperti Penang, Kuala Lumpur dan Singapura. Dengan demikian, kebijakan VOA yang akan diberlakukan di Aceh nantinya diharapkan akan mempermudah dan memperlancar minat wisatawan luar negeri untuk berkunjung ke Aceh melalui Bandara Internasional SIM.

Sekarang diperlukan penyediaan berbagai produk pariwisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pada saat berkunjung, seperti informasi wisata (leaflet, booklet, brosur), aksesibilitas wisata (sistem transportasi), fasilitas wisata (akomodasi, money changer) dan industri wisata (agen perjalanan, makanan dan minuman, tour operator, pramuwisata dan souvenir wisata).

Penggunakan fasilitas VOA sesuai dengan Perpres No. 4 Tahun 2006, dan Diberlakukannya di Aceh, maka Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisatanya, lebih proaktif melakukan kegiatan promosi dan pemasaran objek dan daya tarik (atraksi) wisata Aceh untuk memperkenalkan potensi daerah, produk pariwisata dan peluang investasi pada masyarakat internasional dalam bentuk brosur, booklet, leaflet, postcard, banner, CD serta menyampaikan informasi lengkap tentang keberadaan travel/biro perjalanan wisata di Aceh. Di samping perlu membangun kemitraan dengan berbagai pihak asing khususnya kerjasama pembangunan objek wisata (tourism resort), perhotelan, penerbangan internasional (selain AirAsia dan FireFly milik Malaysia), pengembangan industri pariwisata lainnya (money changer, restauran, dll). Semoga.

* Penulis adalah pengamat Industri Pariwisata Aceh, alumnus Manajemen Pariwisata Victoria University of Technology, Melbourne.

Sumber : serambinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa ngomen yaa.. trim's :)